Ditulis oleh: Abang @KhrytMohamad
Sebelumnya, berikan maafmu pada kami kawan. Kami alpha dalam
memperbaharui isi blog ini. Pagi ini akan kuceritakan hal yang baru saja
mengubah total kehidupan kami. Sebuah kalimat yang kuingat: "Orang yang paling cerdas adalah orang yang senantiasa mengingat kematian dan mempersiapkan untuknya." untuk penjelasan lengkap, kau bisa melipir ke tautan ini, kawan.
Kalimat tersebut awalnya hanyalah sebuah kalimat mutiara
bagiku. Namun kini, benar-benar terasa berbeda. Ramadhan silam, aku dinobatkan
sebagai pengisi pelatihan perencanaan hidup di Pesantren Kilat SMAN 54. Entah
kenapa, untuk pertamakalinya aku memasukkan perihal kematian. Ya, kurang lebih
begini kawan. Hidup kita Cuma kurang lebih 60-70 tahun, dan waktu yang singkat
tersebut akan menjadi bekal untuk kehidupan abadi kelak di akhirat (setidaknya ini
yang kupercaya sebagai muslim). Tetapi apa benar Cuma 60-70? Bisa jadi kurang,
bisa jadi bulan depan, esok, atau sejam kemudian kita tiada berdenyut nyawa.
Ah, sungguh kawan, awalnya aku merasa hanya sedikit gemetar
saat menyampaikan itu dihadapan adik-adik 54. Namun, keduakali, tigakali,
empatkali, dan limakali tidaklah sama. Gemetar tersebut menjelma menjadi
ketakutan yang akut.
“Bisa jadi..... abang.... sejam ke..mudian...” sulit bagiku
melanjutkan kalimat ini. Berat, terasa benar-benar akan dijemput oleh “pembawa death-scythe”. Hatiku terisak pedih,
ternyata itu pula yang dirasakan beberapa adik di sana.
“Karena itu, teman-teman...” kesimpulan mulai kulayangkan
perlahan, “Apabila kita senantiasa mengingat kematian yang masih misteri ini,
kita akan melakukan yang terbaik.”
Materi yang terus kusampaikan itu perlahan terinternalisasi,
menari mari di dalam pikiran, meminta perhatian. Belum usai tariannya, aku
kembali ditimpali pesan kematian:
Ini, kawan.
Video tersebut sungguhlah tak kupikirkan sebelumnya, hanya
sebuah tontonan acak. Namun, hadir di saat yang tepat. Ia hadir di kala tarian
kematian mulai kelelahan, ia hadir sebagai musik penyemangat sehingga tak bisa
kututup panggung pikiran. Sang penari memaksa untuk terus ditonton.
Jadilah tercipta sebuah keinginan unik: ingin terus membahagiakannya,
tak ingin berpisah jarak dalam keadaan bersalah atau belum memberikan sentuhan
maaf. Ingin terus dzikrullah, ingin
terus dzikrulmaut. Terus sampai ia
benar-benar tiba.
Seperti tadi malam kawan, aku berpesan kepadanya sebelum
tidur:
“Dek, kalau kiranya nanti abang gabisa dibangunin untuk tahajud, jangan panik, solat aja lebih
dulu, setelah itu baru urus abang. Dan tetap solat tepat waktu, sholat dhuha,
dan sedekah.” Lalu kukecup keningnya seraya berkata, “i love you, dek”. Kaa-kata tersebut betul kuucapkan dengan perasaan seolah akan tiada.
Tahu bagaimana responnya, kawan? Ia menangis terisak-isak.
Mungkin terbayang betul bahwa aku suatu saat nanti hanya akan tersisa raga dan
nyawa. Tapi imbasnya, kawan. Luar biasa! Tidur kami yang luar biasa nyaman
diawali witir terlebih dahulu. Keinginan untuk tahajud menjadi membatin. Kuat
sekali. Alasan kami satu: tak ingin kami menghadapNya sebagai nyawa kelak dalam
kondisi belum beribadah, wajib maupun sunnah.
“Kita mesti terus mempersiapkan diri, dek. Karena memang,
akan tiba saatnya percakapan kita ini menjadi kenyataan.”
“iya, bang.”
Kami pun terlelap dengan hati yang tenang.
No comments:
Post a Comment