Ditulis oleh:
Adek @retnorightnow
Sebelum bercerita
lebih jauh, aku ingin memulai dengan sebuah pengakuan tentang kondisiku sebelum
aku bertemu dengan Abang, yang sudah sedikit digambarkan oleh Abang pada
tulisannya sebelum ini.
Sampai awal maret
2013 silam tak pernah terpikirkan oleh ku tentang menikah di usia muda, dalam
waktu dekat. Malah, selama berbulan-bulan lamanya aku ini terjangkit semacam
‘penyakit’ : cenderung sebal ketika mendengar apapun tentang pernikahan. Ya,
apapun. Setiap mengetahui ada yang menikah (terlebih kalau pasangan yang akan
menikah itu masih muda), baik itu saudara, tetangga, artis, teman atau
siapapun, aku secara refleks langsung memalingkan muka, hati dan pikiran. Hal
yang sama juga terjadi ketika aku tak sengaja melihat baju pernikahan, kue
pernikahan, janur kuning pernikahan, undangan pernikahan atau bahkan poster
kajian pernikahan..
Sebab
‘penyakit’-ku ini jelas bukan karena aku pernah gagal dalam rumah tangga (aku
kan belum pernah menikah saat itu), bukan pula karena pernah melihat kasus
KDRT. Bukan karena aku iri karena juga ingin menikah di usia muda, bukan karena
aku tidak mengerti bahwa menikah adalah kebutuhan setiap manusia.. Bukan.
Sebuah kejadian di masa lalu tanpa sadar telah membuatku takut akan pernikahan
dan semakin hari perasaan itu semakin kuat, terlebih karena aku tak pernah
benar-benar mencari solusi atas ‘penyakit’-ku ini. Atas nama masa lalu,
kubiarkan ia tumbuh tanpa perlawanan dariku. Salah satu hal yang meyebabkan aku
berpaling ketika menemui hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan : aku
merasa kalah dan tak berdaya dibandingkan dengan para pasangan itu, mereka
adalah orang-orang yang punya persepsi normal tentang cinta dan pernikahan,
sedangkan aku malah terjerat ‘penyakit’ aneh ini. Sungguh tidak adil.
Akhirnya semuanya
sudah berada di ambang batas. Dalam diamku, ‘penyakit’ ini sudah semakin parah
dan aku hanya punya dua pilihan : sembuh total dan menjadi orang normal atau
kalah dan terlabeli sebagai orang yang tidak memiliki keinginan untuk menikah.
Rasio dan hati nuraniku pun memberontak, melawan ‘penyakit’ ini. Perlahan-lahan
kuproses ulang diriku, kususun kembali persepsi mengenai cinta dan pernikahan. Hal
yang paling penting adalah : aku harus sadar dan mau menyadari bahwa aku telah
melakukan kesalahan. Kemudian kusadari satu hal : untuk membantu pemulihanku,
aku harus banyak bergerak, dalam berbagai arti, agar ‘penyakit’ ini tidak lagi
memengaruhiku. Ya, kesendirian dan kediamanku menjadi semacam celah yang
terbuka lebar bagi ‘penyakit’-ku untuk memasuki kehidupanku lagi.
Pertengahan Maret
2013, aku berdiri di depan mading gedung VII FIB UI dan memerhatikan sebuah
poster dari sebuah komunitas bernama Tirai Masa. “Open Recruitment for Core
Team”, itulah tulisan yang tertera di sana. Rasa penasaran membuatku lama
berdiri di situ, mencerna setiap sentimeter isi poster itu. Ada empat divisi
yang di buka : scholarship, fiction
writing, non-fiction writing dan public speaking. Ahh.. benar-benar
beruntung. Selama ini aku selalu kagum menyaksikan kepiawaian para public
speaker dan selalu ingin bisa berbicara di depan umum sebaik mereka. Terlebih
lagi, inilah yang amat kubutuhkan, inilah momentum bagiku untuk bergerak, move on.
Kupandangi satu
per satu wajah yang ada di poster itu, membayangkan diriku bergerak bersama
mereka dalam komunitas Tirai Masa.. Hanya dua wajah yang kukenal di komunitas
itu tapi kurasakan wajah mereka semua begitu bersahabat. Sudah kuputuskan : aku
akan bergabung dengan Tirai Masa di divisi public
speaking. Entah kenapa, mendadak aku merasa begitu antusias. Kurasakan ada
kebahagiaan yang akan menyambutku di depan sana. Aku yakin, Tirai Masa tidak
hanya akan membuatku belajar lebih banyak tentang public speaking, tetapi juga
sekaligus membuatku lupa akan ‘penyakit’-ku. Setelah bergabung aku pun tau,
Tirai Masa memang mewujudkan keduanya, bahkan lebih, melampaui yang
kubayangkan..
Di Tirai Masa-lah
aku bertemu dengannya..
Shikamaru? Shikamaru yori, Naruto mita to omou wa yo. Dakara, nani ga attemo, gambare!
ReplyDelete