Ditulis oleh: Abang @KhrytMohamad
Kamu boleh terkejut, kawan. Aku, Khryt Mohamad, sudah sedari
kecil memikirkan tentang pernikahan. Ia adalah sebuah impian yang selalu ingin
kugapai. Sungguh. Pernah dulu semasa SMA, kucoba melamar teman dari masa kecil.
Namun, ditolak tanpa pikir panjang. Wajar, sih, melamarnya juga tanpa pikir
panjang! Sampai merela-relakan diri pergi ke pekalongan dengan uang pas-pas-an,
hanya untuk melamarnya. Benar-benar nekad. Apaboleh buat, rasa suka sudah ada
semenjak kami duduk di kelas yang sama, di bangku Madrasah Ibtidayah.
Pelajaran pertama tentang cinta: Boleh jadi kamu menyukai
dan mengenal lama seseorang, tapi belum tentu ia jodohmu.
Tahun demi tahun terlewati dengan hati tersimpan di dalam
brankas imajiner. Dirantai besar. Dimasukan lagi ke dalam brankas yang lebih
besar, lalu dirantai dan digembok lagi dengan rantai dan gembok terbaik di
dunia. Kuncinya? Kubuang jauh-jauh di laut, kubiarkan tenggelam, hingga tiba di
sisi tergelap lautan yang tak bisa dijangkau oleh siapapun. Tetapi, saat itu,
pertengahan maret, ada seseorang yang tak sengaja membukanya. Mengambil hatiku
dengan paksa. Anehnya, aku pasrah saja.
Hari itu, hari wawancara untuk rekrutmen pengurus Tirai
Masa.
*******
Kamu yang pernah menonton Naruto, mestilah tahu tentang
Shikamaru, si jenius-pemalas. Kurang lebih begitu juga gambaran sifatku: aku
malas melakukan aktivitas dengan banyak orang—karena menurutku sendiri adalah
masa yang lebih menyenangkan—tetapi aku tergolong orang yang sungguh-sungguh
ketika saat melaksanakannya. Ditambah lagi, aktivitas kali ini dilakukan
bersama orang-orang yang memiliki impian dan serius untuk mewujudkannya. Aku
yang sedang bermalas-malas di rerumputan FIB, dipanggil olehnya melalui pesan
singkat.
“Bro Khryt, lagi di mana? Hari ini aye mau wawancara Ratih
sama Eno nih. Bisa dateng gak?”
Agak menyebalkan. Kenapa? Karena perjanjiannya aku hanya
akan mewawancara pria, bukan wanita. Tetapi toh sepertinya tak ada ruginya ikut
mengetahui siapa-siapa saja wanita yang akan tergabung di Tirai Masa.
Tiba dilokasi wawancara kutatap lekat 2 orang yang duduk di
hadapan Greta. “oh, kalian ya yang mau daftar jadi pengurus?” Tanyaku dengan
senyum simpul. Tunggu, kubilang senyum kan? Ini senyum benaran. Meskipun kamu
tahu hatiku barusan agak sebal, aku bisa mendadak berubah senang ketika
menghadapi orang dengan “aura” yang menyenangkan.
Aku dan Greta berganti-gantian menanyakan alasan mereka
ingin tergabung di Tirai Masa. Greta memulai pertanyaan ke Ratih, aku memulai
pertanyaan ke Eno. Selebihnya tinggal saling menimpali. Lamat-lamat aku
mendengar cara mereka menjawab, aku menangkap salah satu dari mereka punya
sebuah sinyal kedewasaan pola pikir. Matang sekali. Ditambah dengan iringan
nada bicara yang kuat tanpa keraguan. Berkali-kali juga ia berhasil menerjemahkan
kediaman yang dialami sahabat di sampingnya. Ratih memang banyak diam, Eno yang
menerjemahkan.
“Ratih hobinya apa?” Tanya Greta penasaran. Ratih hanya
terdiam, cukup lama. Ia pun menatap lekat sahabatnya. Tanpa perlu waktu
panjang, Eno angkat bicara.
“Kak, ratih malu ngomong
dan minta aku yang nyampein. Hobinya main pedang lho kak... terus....”
Panjang ia bicara mengenai sahabatnya. Padahal tadi tak ada sedikitpun
komunikasi kata, hebatnya lagi Ratih tersenyum puas, seolah apa yang ingin ia
bicarakan tersampai semuanya melalui Eno. Hanya ada dua kemungkinan menurutku:
hubungan mereka yang teramat dekat, atau dia memang mampu menerjemahkan
kediaman seseorang (boleh jadi di keluarganya ia terbiasa dengan hal-hal
implisit).
Tapi yang terpenting dari semuanya, caranya bertutur,
merespon, dan menerjemahkan sudah membongkar brankas yang menyimpan hati. Tanpa
ia sadari, ia telah menggenggam erat hatiku. Genggamannya membuatku ingin
menelusuri segala hal tentang dirinya. Seperti apa dia? Bagaimana karakter
sepertinya bisa terbentuk kuat? Kenapa ia membongkar paksa dan mencuri hatiku?
Aku ingin lebih mengetahui tentangnya.
....
Ah, sepertinya ini bukan simpati biasa. Aku... Jatuh Hati.
No comments:
Post a Comment