Ditulis oleh : Adek @retnorightnow
“Kayaknya abis ini gara-gara UTS wacana aku langsung lahiran
deh, ahahaha..”
Masih kuingat dengan jelas kata-kataku waktu itu. Jumat, 28
Maret 2014 adalah hari pertama dimulainya UTS semester enam ini. Hari itu
adalah UTS mata kuliah Wacana, mata kuliah budaya yang sukses membuat hampir
seluruh mahasiswanya ketar-ketir, lantaran pembahasannya yang cukup kompleks.
Aku pun demikian. Setelah sekitar 120
menit, dengan menghasilkan kertas ujian yang hampir penuh terisi deretan
paragraf jawaban, aku merasa lega, walaupun tidak sepenuhnya yakin dengan
jawaban-jawabanku, setidaknya satu UTS telah kulewati.
Rasa-rasanya aku tidak pernah begitu menginginkan UTS segera
berlalu lebih daripada kala itu. Mengapa? Karena ada dua momen penting –yang
satu penting, yang satu lagi sangat sangat penting- yang saling kejar-kejaran
untuk lebih dahulu terjadi dalam hidupku. Momen itu adalah UTS dan kelahiran
anak pertamaku. Meskipun prediksi kelahiran jatuh pada tanggal 14 April,
mengingat usia kehamilanku yang sudah memasuki minggu ke-38, waktu kelahiran
sudah ‘bisa kapan saja’ terjadi, itu yang dikatakan bidanku. Hal ini membuatku
sedikit gelisah. Harapanku kala itu, aku akan melahirkan setelah semua UTS-ku
selesai agar bisa melahirkan dengan ‘tenang’. Maklum, ini adalah momen
melahirkan pertamaku dan tidak bisa dipungkiri, seberapapun aku berusaha tetap
tenang, terselip sedikit rasa takut kalau-kalau proses persalinanku nanti
menemui kendala.
Alhamdulillah. Memang, Allah SWT Maha Pemberi Kekuatan, yang
mengetahui kekuatan hamba-Nya lebih dari yang hamba-Nya sendiri yakini dan
rasakan. Maksud hati ingin bercanda dan mengekspresikan tingkat kesulitan UTS
wacana, ucapanku kala itu berbuah kenyataan.
Sabtu, 29 Maret 2014, aku merasa tidak enak badan. Pusing,
lemas dan agak demam. Seperti halnya diriku, abang mendapat firasat bahwa waktu
kelahiran anak kami tidak akan lama lagi, atau bisa dibilang, abang berharap
demikian. Ya, abang adalah orang nomor satu (aku nomor dua) yang paling
menanti-nanti kelahiran anak kami. Matanya berbinar-binar setiap kali mengingat
bahwa dirinya akan segera menjadi seorang ayah. Di suatu malam, bahkan, abang pernah
menangis tanpa alasan yang jelas, setidaknya awalnya begitulah pikirku. Setelah
kutanya mengapa, tau tidak apa jawabannya? “Abang kangen banget sama anak
kita.. Abang udah gak sabar pingin cepet ketemu sama dia..” Sejak saat itu,
abang semakin gencar saja menginginkan persalinan lekas terjadi. “Akhir minggu
ini, kamu lahiran yaa..” atau “udah, lahirannya sebelum UTS aja..” adalah
kalimat-kalimat yang sangat sering abang katakan. Maka, melihat kondisiku yang
tidak sehat kala itu, abang pun memutuskan untuk membatalkan kegiatannya hari
itu dan menemaniku di rumah.
Keesokan paginya jam 5 subuh, aku terbangun dari tidurku
dengan rasa sakit di perutku. Aku lantas membangunkan abang yang masih tertidur
di sebelahku. “Abang, kayanya aku bakal lahiran hari ini..”. Abang pun langsung
menunjukan ekspresi kesenangan saat akhirnya kalimat itu terlontar juga dari
mulutku.
Rasa sakit di perut membuatku kesulitan bergerak, termasuk
untuk sholat subuh. Rasa sakitnya datang dan pergi, dan saat rasa sakitnya
datang, tidak ada yang bisa kulakukan selain meringkuk di tempat tidur seraya
memegangi perutku. Setelah bersiap-siap, aku dan abang bergegas ke klinik
bersalin jam 9 pagi. Ternyata saat itu aku sudah pembukaan dua. Bidan lalu
menyuruhku untuk pergi berjalan-jalan di sekitar klinik sambil menunggu
pembukaan semakin besar. Tampak aneh bukan? Menjelang persalinan, ibu hamil
memang harus banyak bergerak dan berjalan untuk mempercepat proses pembukaan
jalan lahir. Alhasil, jadilah aku dengan dituntun abang, pergi keluar klinik
dan berjalan-jalan. Pagi itu adalah salah satu pagi yang paling menakjubkan dalam
hidupku. Duduk di pinggir jalan, makan es krim rainbow kesukaanku dan membeli
pisang berjalan kaki bersama abang, sambil sesekali menunduk dan mencengkram
tangan abang saat rasa sakitnya kembali datang. Menjelang tengah hari, seiring
rasa sakit yang semakin memuncak, kami memutuskan untuk kembali ke klinik dan
berjalan-jalan mondar-mandir di ruangan klinik, ya, abang pun ikut berjalan
mondar-mandir, naik turun tangga sambil dengan sabar menggandengku. Orang-orang
yang datang ke klinik memandangiku dengan pandangan simpati, mereka tau bahwa
aku sedang menunggu waktu persalinan. Jam 12 aku dengan dibimbing oleh abang
dan bidanku memasuki ruang bersalin. Itu adalah pertama kalinya aku melihat isi
ruangan bersalin.
Inilah waktunya,
ucapku dalam hati.
(bersambung..)