Friday, June 13, 2014

Cerita Mikaria, Keajaiban yang Terasa Mimpi

Ditulis oleh : Adek @retnorightnow

“Kayaknya abis ini gara-gara UTS wacana aku langsung lahiran deh, ahahaha..”

Masih kuingat dengan jelas kata-kataku waktu itu. Jumat, 28 Maret 2014 adalah hari pertama dimulainya UTS semester enam ini. Hari itu adalah UTS mata kuliah Wacana, mata kuliah budaya yang sukses membuat hampir seluruh mahasiswanya ketar-ketir, lantaran pembahasannya yang cukup kompleks. Aku pun demikian.  Setelah sekitar 120 menit, dengan menghasilkan kertas ujian yang hampir penuh terisi deretan paragraf jawaban, aku merasa lega, walaupun tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban-jawabanku, setidaknya satu UTS telah kulewati.

Rasa-rasanya aku tidak pernah begitu menginginkan UTS segera berlalu lebih daripada kala itu. Mengapa? Karena ada dua momen penting –yang satu penting, yang satu lagi sangat sangat penting- yang saling kejar-kejaran untuk lebih dahulu terjadi dalam hidupku. Momen itu adalah UTS dan kelahiran anak pertamaku. Meskipun prediksi kelahiran jatuh pada tanggal 14 April, mengingat usia kehamilanku yang sudah memasuki minggu ke-38, waktu kelahiran sudah ‘bisa kapan saja’ terjadi, itu yang dikatakan bidanku. Hal ini membuatku sedikit gelisah. Harapanku kala itu, aku akan melahirkan setelah semua UTS-ku selesai agar bisa melahirkan dengan ‘tenang’. Maklum, ini adalah momen melahirkan pertamaku dan tidak bisa dipungkiri, seberapapun aku berusaha tetap tenang, terselip sedikit rasa takut kalau-kalau proses persalinanku nanti menemui kendala.

Alhamdulillah. Memang, Allah SWT Maha Pemberi Kekuatan, yang mengetahui kekuatan hamba-Nya lebih dari yang hamba-Nya sendiri yakini dan rasakan. Maksud hati ingin bercanda dan mengekspresikan tingkat kesulitan UTS wacana, ucapanku kala itu berbuah kenyataan.

Sabtu, 29 Maret 2014, aku merasa tidak enak badan. Pusing, lemas dan agak demam. Seperti halnya diriku, abang mendapat firasat bahwa waktu kelahiran anak kami tidak akan lama lagi, atau bisa dibilang, abang berharap demikian. Ya, abang adalah orang nomor satu (aku nomor dua) yang paling menanti-nanti kelahiran anak kami. Matanya berbinar-binar setiap kali mengingat bahwa dirinya akan segera menjadi seorang ayah. Di suatu malam, bahkan, abang pernah menangis tanpa alasan yang jelas, setidaknya awalnya begitulah pikirku. Setelah kutanya mengapa, tau tidak apa jawabannya? “Abang kangen banget sama anak kita.. Abang udah gak sabar pingin cepet ketemu sama dia..” Sejak saat itu, abang semakin gencar saja menginginkan persalinan lekas terjadi. “Akhir minggu ini, kamu lahiran yaa..” atau “udah, lahirannya sebelum UTS aja..” adalah kalimat-kalimat yang sangat sering abang katakan. Maka, melihat kondisiku yang tidak sehat kala itu, abang pun memutuskan untuk membatalkan kegiatannya hari itu dan menemaniku di rumah.

Keesokan paginya jam 5 subuh, aku terbangun dari tidurku dengan rasa sakit di perutku. Aku lantas membangunkan abang yang masih tertidur di sebelahku. “Abang, kayanya aku bakal lahiran hari ini..”. Abang pun langsung menunjukan ekspresi kesenangan saat akhirnya kalimat itu terlontar juga dari mulutku.

Rasa sakit di perut membuatku kesulitan bergerak, termasuk untuk sholat subuh. Rasa sakitnya datang dan pergi, dan saat rasa sakitnya datang, tidak ada yang bisa kulakukan selain meringkuk di tempat tidur seraya memegangi perutku. Setelah bersiap-siap, aku dan abang bergegas ke klinik bersalin jam 9 pagi. Ternyata saat itu aku sudah pembukaan dua. Bidan lalu menyuruhku untuk pergi berjalan-jalan di sekitar klinik sambil menunggu pembukaan semakin besar. Tampak aneh bukan? Menjelang persalinan, ibu hamil memang harus banyak bergerak dan berjalan untuk mempercepat proses pembukaan jalan lahir. Alhasil, jadilah aku dengan dituntun abang, pergi keluar klinik dan berjalan-jalan. Pagi itu adalah salah satu pagi yang paling menakjubkan dalam hidupku. Duduk di pinggir jalan, makan es krim rainbow kesukaanku dan membeli pisang berjalan kaki bersama abang, sambil sesekali menunduk dan mencengkram tangan abang saat rasa sakitnya kembali datang. Menjelang tengah hari, seiring rasa sakit yang semakin memuncak, kami memutuskan untuk kembali ke klinik dan berjalan-jalan mondar-mandir di ruangan klinik, ya, abang pun ikut berjalan mondar-mandir, naik turun tangga sambil dengan sabar menggandengku. Orang-orang yang datang ke klinik memandangiku dengan pandangan simpati, mereka tau bahwa aku sedang menunggu waktu persalinan. Jam 12 aku dengan dibimbing oleh abang dan bidanku memasuki ruang bersalin. Itu adalah pertama kalinya aku melihat isi ruangan bersalin.

Inilah waktunya, ucapku dalam hati.

(bersambung..)